Sabtu, 23 Agustus 2014

Amerika Kebijakan Politik Luar Negeri & Sejarah


Hubungan antara negara merupakan hubungan yang paling tua dalam studi hubungan internasional dimana, hubungan internasional telah memunculkan aktor-aktor baru selain negara dalam interaksi internasional. Perkembangan ini berakibat pada lahirnya paradigma atau paham baru oleh para penstudi HI dalam mengkaji fenomena-fenomena internasional yang terjadi. Paham tersebut antara lain paham realism, pluralism, strukturalisme, dan globalisme.
Dominasi aktor negara pada awal perkembangan HI menurut kaum realis di gugat oleh kaum pluralis dan menganggap bahwa actor dalam HI tidak hanya di dominasi oleh negara tetapi juga di lakukan oleh MNC , individu , NGO, serta kelompok teroris. Sementara pendekatan strukturalisme lebih memandang interaksi hubungan internasional sebagai ketergantungan negara kecil terhadap negara besar dan dominasi negara kuat terhadap negara lemah. Adanya faktor tunggal dalam HI pada awal perkembangannya membuat tata hubungan internasional pada saat itu hanya diwarnai oleh interaksi antar negara saja. Dominasi peran antar negara tersebut kemudian menjadikannya sebagai aktor utama dalam HI dan tatanan internasional terbentuknya sesuai dengan keinginan negara , khususnya negara besar.
Sifat-sifat penguasa di negara-negara tertentu yang represif dan cenderung otoriter, melahirkan rasa kekecewaan bagi rakyatnya karena keinginan untuk turut berpartisipasi dalam bidang politik tidak dapat tersalurkan bahkan cenderung di kekang. Ketika jalur-jalur penyampaian aspirasi politik tidak berjalan baik, maka partisipasi tersebut kemudian diwujudkan melalui gerakan-gerakan radikal yang pada akhirnya akan melahirkan kekerasan-kekerasan sipil.
Pasca perang dunia II, kekerasan sipil merupakan gejala yang sangat menarik perhatian. Dibanding perang sebenarnya yaitu perang antarnegara, kekerasan sipil jauh lebih banyak jumlahnya. Surat kabar New Yeork Times mencatat selama kurun waktu 1946-1959 saja, telah terjadi 1.200 kekerasan sipil yang meliputi perang saudara, aksi-aksi gerilya, huru-hara, kekacauan-kekacauan luas, terorisme, pemberontakan dan kudeta. Peristiwa-peristiwa kekerasan itu terutama sangat mencuat dalam dasawarsa 1960-an yang terjadi tidak saja di negara berkembang, melainkan juga di negara-negara maju.  Kekerasan sipil mencakup suatu spectrum yang sangat luas, mulai dari unjuk rasa, atau protes dengan menggunakan kekerasan, pemberontakan spontan, pemberontakan berencana dan berlanjut, kudeta bahkan sampai ke revolusi. Perang Saudara termasuk kekerasan politik sementara perang antar negara tidak.
Kekerasan sipil berbentuk terorisme dapat dilakukan oleh penguasa atau negara terhadap rakyatnya sendiri atau terorisme negara, maupun oleh rakyat terhadap penguasanya. Terorisme digunakan sebagai senjata defensive maupun afensif untuk memelihara status quo atau untuk merusak sistem yang ada. Setelah berakhirnya Perang Dingin, berbagai kekerasan sipil termasuk terorisme internasional tampak semakin menjadi-jadi. Perang Saudara, terorisme dalam berbagai bentuk, pemberontakan, pemboman, peracunan, pembantaian, penyandraan, demonstrasi berdarah dan sebagainya memenuhi media cetak maupun elektronik.
Amerika Serikat sebagai salah satu negara korban terorisme internasional, seperti yang kita ketahui bahwa Amerika merupakan negara Adi Kuasa yang terkadang memenuhi standar ganda dalam melihat suatu fenomena atau dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya bila berkaitan dengan isu Arab Israel, menjadikannya objek kemarahan dari pihak-pihak yang dianggap dirugikan ataupun tidak senang dengan kebijakan standar ganda tersebut. Hal tersebut membuat Amerika Serikat menjadi sasaran terorisme internasional.
Terdapat banyak serangan terorisme yang dilakukan ke tempat-tempat kepentingan Amerika Serikat, baik itu di dalam dan di luar negeri, mulai dari aksi pemboman terhadap sebuah botel di Yaman yang banyak di huni oleh warga Amerika Serikat (1992), gedung World Trade Center New York (1993). Kampung Militer di Riyadh Arab Saudi (1993) basis militer AS di Dahran Arab Saudi (1996). Kedutaan Besar AS di Kenya Tanzania (1998), kapal perang AS USS Cole di Yaman (2000) dan yang terakhir dan sangat berdampak terhadap bangsa dan negara Amerika Serikat yakni serangan terhadap World Trade Center dan Pentagon dengan menggunakan pesawat terbang komersil yang menjadi tragedy nasional bagi bangsa dan negara Amerika Serikat. Trauma yang sangat mendalam sebagai akibat aksi dari serangan-serangan terorisme tersebut membuat Amerika Serikat sangat reaksioner dalam sikapnya menghadapi issu terorisme yang berkembang saat ini. Amerika Serikat sangat cepat merespon terhadap setiap issu terorisme. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan politik luar negerinya yang berusaha mencari simpati dunia internasional dalam kampanye pemberantasan jaringan terorisme. Hal ini sejalan dengan pendapat William D.Coplin bahwa : “Politik luar negeri suatu negara merupakan substansi dari hubungan internasional terselenggara sebagai sarana interaksi antar negara demi pencapaian tujuan nasional.” Sebelum mengadakan serangkaian tindakan dalam hubungan luar negerinya, suatu negara terlebih dahulu harus menentukan pola politik luar negerinya berdasarkan atas kebutuhan nasional sehingga kepentingan nasional berperan sebagai kontrol dalam setiap pelaksanaan politik luar negerinya. Di sini, tujuan nasional Amerika adalah berusaha melindungi seluruh warga dan kepentingan di dalam dan di luar negeri sedangkan instrument yang digunakan adalah cenderung kepada politik. Menciptakan rasa aman bagi warganya dinilai sebagai kebutuhan yang mendesak, mengingat warga dan kepentingannya tersebar ke seluruh belahan dunia.
Isu terrorisme, ternyata bukan hanya konsumsi wilayah regional tertentu saja seperti Timur Tengah, namun telah menyebar ke wilayah-wilayah regional lainnya yang memiliki potensi konflik dan instabilitas seperti halnya kawasan regional Asia Tenggara. Konflik intern di negara kawasan tersebut, bisa saja memancing jaringan internasional untuk melakukan aksi-aksi teror di kawasan tersebut. Sebagai contoh aksi terror yang di lakukan oleh gerilyawan Moro di Philipina Selatan. Pada perkembangannya dinilai dapat membahayakan keselamatan warga dan kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara.
Kemudian di Singapura 25 anggota Jemaah Islamiyah, di Malaysia dan Singapura di duga merupakan suatu jaringan terorisme internasional yang terkait dengan jaringan Al-Qaidah pimpinan Osama Bin Laden. Bersama penangkapan tersebut ditemukan beberapa dokumen yang berisi rencana penyerangan terhadap kepentingan-kepentingan AS di Asia Tenggara seperti di Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Selanjutnya ledakan kecil di sekitar konsulat AS di Bali, kemudian hal ini semakin membuat kawasan tersebut rawan terhadap isu serangan aksi teroris.

0 komentar:

Posting Komentar